Dwi Puspaningrum
Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Yogyakarta
2013
Makalah yang ditulis untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sosiologi Sastra.
ANALISIS HEGEMONI GRAMSCI DALAM “METROPOLITAN SAKAI”
KARYA ABEL TASMAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Cerpen berjudul
“Metropolitan Sakai” karya Abel Tasman yang dimuat dalam buku kumpulan cerpen pilihan
Kompas 2000 dengan judul “Dua Tengkorak Kepala” merupakan salah satu cerpen
yang dapat dianalisis dengan menggunakan teori hegemoni.
Menurut Gramsci hegemoni
memperkenalkan kepemimpinan moral dan intelektual yang tidak terdapat dalam
bentuk-bentuk analisis marxis yang lebih ortodoks dan mengindikasikan berbagai
macam cara yang di dalamnya kepemimpinan itu sudah dibangun. (Faruk, 2003:63).
Dari teori tentang
hegemoni tersebut, sejalan dengan cerita yang ada dalam cerpen “Metropolitan
Sakai”. Di perkampungan Sakai yang menjadi salah satu korban dari adanya
hegemoni atas ideologi kapitalisme. Warga desa yang hidup miskin di tengah
sumber daya minyak yang melimpah, namun bukan untuk kesejahteraan desa
tersebut. Pengambilan minyak yang dilakukan oleh perusahaan “Caltex” ini
mendapat dukungan dari kepala Desa yang memimpin. Dolah, salah satu tokoh yang
harus kehilangan Emak dan Abah-nya akibat kondisi sulit yang
dialaminya. Begitu pula dengan sahabat Dolah, Don Menet yang terpaksa harus
mengalami kesengsaraan.
Dan semakin hari
pengolahan minyak di desa Sakai tidak pernah berhenti namun semakin diperluas.
Namun, penduduk Desa Sakai baik Dolah, Don Menet maupun yang lainnya tidak bisa
berbuat apa-apa.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan cerpen “Metropolitan
Sakai” dapat
dirumuskan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana bentuk hegemoni
yang terdapat dalam cerpen “’Metropolitan Sakai”?
2. Siapakah yang menjalankan hegemoni di dalam cerpen “’Metropolitan
Sakai”?
3.
Adakah upaya melawan
kekuasaan yang mendominasi dalam cerpen “Metropolitan Sakai”?
C.
Tujuan
Analisis cerpen
“Metropolitan Sakai” ini bertujuan untuk, pertama mengetahui bentuk hegemoni
yang terdapat dalam cerpen “Metropolitan Sakai”. Kedua mengetahui siapa yang
menjalankan hegemoni tersebut. Dan ketiga dapat mengetahui upaya apakah yang
dilakukan untuk melawan kekuasaan yang mendominasi dalam cerpen “Metropolitan
Sakai”.
BAB II
KAJIAN TEORI
Gramsci menganggap dunia
gagasan, kebudayaan, suprastruktur, bukan hanya sebagai refleksi atau ekspresi
dari struktur kelas ekonomik atau infrastuktur yang bersifat material,
melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri. Sebagai kekuatan
itu, dunia gagasan atau ideologi berfungsi mengorganisasi masa manusia,
menciptakan suatu tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak (Faruk,
2003:62).
Hubungan antara yang
ideal dengan yang material tidak berlangsung searah, melainkan bersifat saling
tergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi, sedangkan
ideologi-ideologi merupakan bentuknya. Kekuatan material tidak dapat dipahami
secara historis tanpa bentuk dan ideologi-ideologi akan menjadi khayalan
individual belaka tanpa kekuatan material (Faruk, 2003:62).
Hegemoni berarti sesuatu
yang kompleks. Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk-bentuk
politis, kultural, dan ideologis tertentu, yang lewatnya, dalam suatu
masyarakat yang ada, suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya
sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa
(Faruk, 2003:63).
Hegemoni memperkenalkan
kepemimpinan moral dan intelektual yang tidak terdapat dalam bentuk-bentuk
analisis marxis yang lebih ortodoks dan mengindikasikan berbagai macam cara
yang di dalamnya kepemimpinan itu sudah dibangun (Faruk, 2003:63).
Hegemoni itu, oleh Gramsci,
didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomik
dan etis-politis. Dalam hal hegemoni itu harus diperhatikan interes-interes
kelompok dan kecenderungan-kecenderungannya, yang terhadapnya hegemoni itu
dijalankan. Di dalam hegemoni suatu keseimbangan kompromis antar
interes-interes tersebut harus dibentuk atau, dengan kata lain, bahwa kelompok
pemimpin harus membuat pengorbanan-pengorbanan tertentu. Akan tetapi,
pengorbanan tersebut tidak dapat menyentuh esensial, yaitu interes ekonomi,
sebab, walaupun hegemoni bersifat etis-politis, ia juga harus bersifat
ekonomik, harus didasarkan pada fungsi yang menentukan, yaitu inti aktivitas
ekonomi. (Faruk, 2003:68).
Di sini hegemoni
mendefinisikan sifat kompleks dari hubungan antara sayarakat dengan
kelompok-kelompok pemimpin masyarakat: suatu hubungan yang tidak hanya politis
dalam pengertian yang sempit, tetapi juga persoalan mengenai gagasan-gagasan
atau kesadaran. Tekanan inilah yang menandakan orisinalitas konsep hegemoni. Salah
satu cara yang di dalamnya “pemimpin” dan “yang dipimpin” disatukan adalah
lewat “kepercayaan-kepercayaan popular” (Faruk, 2003:70).
BAB III
PEMBAHASAN
Cerpen berjudul
“Metropolitan Sakai” karya Abel Tasman merupakan salah satu cerpen yang sangat
identik dengan hegemoni yang mengatur atau mengorganisasikan manusia secara
nyata dan bersifat memaksa.
Hegemoni berarti sesuatu
yang kompleks. Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk-bentuk
politis, kultural, dan ideologis tertentu, yang lewatnya, dalam suatu
masyarakat yang ada, suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya
sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa
(Faruk, 2003:63).
Adanya suatu kekuasaan
yang mengikat dan terpaksa harus tunduk pada perintah seorang pemimpin, dalam
cerpen “Metropotitan Sakai” terlihat diawal cerita ketika warga Desa Sakai yang
dipaksa untuk tidak boleh loyo oleh Kepala Desa karena akan ada Gubernur yang
berkunjung ke desa tersebut. Akhirnya seluruh warga diberikan beras
masing-masing 2 Kg.
Salah satu tokoh dalam
cerita adalah Dolah, yang terpaksa harus kehilangan Abah-nya. Karena pemberian beras tersebut, Ayah-nya ingin makan nasi terus menerus yang sejak tiga hari belum
makan nasi. Selanjutnya karena terlalu banyak makan nasi, Ayahnya meninggal.
Dengan mulut yang berbusa dan mata yang terbeliak putih. Hal ini terdapat dalam
kutipan berikut ini,
Suatu hari rombongan Kepala
Desa datang ke kampung Dolah. Kata Pak Kades akan ada kunjungan Gubernur ke
kampung tersebut. “Di depan Gubernur ndak
boleh ada yang kelihatan loyo. Semua harus makan banyak agar tampak sehat.
Malu kan kalau badan kita kelihatan
loyo di depan Pak Gubernur? Sebab daerah kita itu terkenal ke seluruh pelosok
Indonesia sebagai negeri yang kaya-raya.” Begitu antara lain pidato Pak Kades
sebelum membagi-bagi beras yang setiap kepala keluarga mendapat jatah dua
kilogram.
“Abah betul-betul lapar, Lah. Kau bertanak nasi lagi, ya, Nak? Nasi tadi dah abah habiskan, “ ucap
abah.
Dengan senang hati Dolah
kembali menanak nasi. Ketika itulah ia mendengar erangan dari bilik abah-nya. Betapa Dolah kecil terperanjat
melihat abah-nya tergeletak dengan
mulut berbusa dan mata terbeliak putih. Dolah berlari ke rumah Bomo, minta
bantuan.
Kondisi di atas adalah
gambaran yang sangat menyedihkan karena kekuasaan seorang pemimpin yaitu Kepala
Desa dapat berbuat apa saja kepada yang dipimpin. Seperti halnya memerintahkan
warganya untuk berpura-pura kelihatan sehat di depan Gubernur yang akan
berkunjung. Yang sejatinya mereka hidup dalam kesusahan bahkan dapat dikatakan
sengsara. Dan dari pemimpin itu sendiri tidak ada kesadaran atau upaya untuk
menyejahterakan rakyatnya. Ini merupakan bukti bahwa hegemoni pemimpin
mempunyai pengaruh yang kuat.
Setelah meninggalnya Abah Dolah tersebut, Dolah terpaksa
harus tinggal di Panti Asuhan Anak Suku Terasing di kota. Namun Dia tidak tahan
karena harus bekerja keras membantu pembangunan yayasan sepulang sekolah.
Akhirnya Dolah nekat meninggalkan panti sebelum Dia sakit dan harus dipulangkan
ke kampung.
Selanjutnya di dalam
cerpen “Metropolitan Sakai” tidak dijelaskan kondisi Dolah setelah Dia berhasil
minggat dari panti asuhan, tetapi sudah menceritakan kondisi Desa Sakai dua
puluh tahun kemudian.
Perkampungan Sakai yang
redup, semak, dan hening telah disulap menjadi metropolis yang serba gemerlap,
benderang, dan bising. Lengkingan rusa yang diburu, pemancingan ikan,
pekik-sorak pencari rotan, atau dendang anak-anak Sakai menjerat kancil,
menggetah burung, terdengar mengiang dalam deru gemuruh kesibukan kota.
Dolah terus melangkah di
atas pipa minyak di sepanjang sisi jalan. Tak ia pedulikan bising kendaraan
yang berseliweran disebelah kanannya. Dulu, sekitar dua puluh tahun silam,
Dolah paling suka pacu lari di atas pipa-pipa itu dengan Don Menet, teman
kecilnya.
Dari
kutipan di atas, terlihat bahwa kondisi Desa Sakai telah banyak berubah.
Perubahan ini tentu bukan terjadi secara kebetulan, melainkan ada suatu sistem atau tatanan dan ideologi yang
telah membangunnya. Penyebab terjadinya hal ini dijelaskan dalam paragraf
berikutnya,
Semua itu terjadi memang
akibat perubahan cara hidup yang drastis. Sejak nenek-moyang mereka, orang
Sakai hanya terbiasa hidup dari berladang berpindah. Padahal itu dilarang
pemerintah, karena dapat merusak kelestarian hutan. Makanya, sejak itu
orang-orang Sakai mulai hidup dari hasil memburuh atau sebagian pekerja kasar
lainnya. Sementara itu, hutan atau kebun mereka tempat biasa mereka berladang
dijadikan perluasan areal pengolahan minyak oleh Caltex. Hutan-hutan dibabat
rata dengan tanah, pohon-pohon yang ditanami warga Sakai ditebangi dan diganti
rugi. Dalam pengertian, diganti rugi. Itu pun masih dikategorikan untung. Sebab
sebagian tanah tempat orang-orang Sakai berladang dan berkebun malah harus
diserahkan begitu saja tanpa ganti rugi sesen pun.
Berbicara tentang
ideologi, dalam teori hegemoni juga disebutkan. Menurut Gramsci yang menganggap
dunia gagasan, kebudayaan, suprastruktur, bukan hanya sebagai refleksi atau
ekspresi dari struktur kelas ekonomik atau infrastuktur yang bersifat material,
melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri. Sebagai kekuatan
itu, dunia gagasan atau ideologi berfungsi mengorganisasi masa manusia,
menciptakan suatu tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak (Faruk,
2003:62). Dan ideologi yang terdapat dalam cerpen “Metropolitan Sakai” juga
telah mampu mengorganisasikan manusia.
Ideologi yang ada dalam
cerpen “Metropolitan Sakai” adalah ideologi kapitalisme. Disebutkan dengan
jelas perusahaan asing yang melakukan pengolahan minyak bumi, yaitu Caltex.
PT. Caltex Pacific
Indonesia (PT. CPI) adalah perusahaan modal asing (PMA) yang melakukan kontrak
kerja dengan Pemerintah Indonesia dalam bidang eksplorasi dan produksi minyak
bumi di Indonesia. cikal bakal kegiatan PT CPI di Indonesia dimulai tahun 1934,
di saat Standard Oil Company of California (yang kini bernama Chevron Corporation)
memulai kegiatan eksplorasi minyak di Hindia Belanda. Untuk memperluas
kegiatannya, pada tahun 1936 Standard Oil Company of California bergabung
dengan perusahaan Texas Oil Company (Texaco), sebuah perusahaan minyak Amerika
Serikat, membentuk perusahaan yang diberi nama Caltex.[1]
Di dalam kapitalisme,
ada prinsip dasar kebebasan. Salah satunya adalah kebebasan. Termasuk kebebasan
mengambil hasil kekayaan alam yang ada di Indonesia. Memberikan kesempatan
asing untuk mengekploitasi sumber daya alam yang dimiliki tanpa memandang akan
kerugian darinya. Tujuan utama dari kapitalisme adalah untuk meraih keuntungan
sebesar-besarnya. Karena ideologi kapitalisme tersebut tidak akan dapat
berjalan jika tanpa adanya materi. Dan keduanya saling membentuk kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan. Seperti menurut Garmsci, hubungan antara yang ideal dengan
yang material tidak berlangsung searah, melainkan bersifat saling tergantung
dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi, sedangkan ideologi-ideologi
merupakan bentuknya. Kekuatan material tidak dapat dipahami secara historis
tanpa bentuk dan ideologi-ideologi akan menjadi khayalan individual belaka
tanpa kekuatan material (Faruk, 2003:62).
Adapun yang telah
dialami oleh Desa Sakai akibat pengolahan minyak asing ini, mereka hidup jauh
dari kelayakan. Jika kita kaitkan dengan teori hegemoni menurut Gramsci,
didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomik
dan etis-politis. Dalam hal hegemoni itu harus diperhatikan interes-interes
kelompok dan kecenderungan-kecenderungannya, yang terhadapnya hegemoni itu
dijalankan. Di dalam hegemoni suatu keseimbangan kompromis antar
interes-interes tersebut harus dibentuk atau, dengan kata lain, bahwa kelompok
pemimpin harus membuat pengorbanan-pengorbanan tertentu. Akan tetapi,
pengorbanan tersebut tidak dapat menyentuh esensial, yaitu interes ekonomi,
sebab, walaupun hegemoni bersifat etis-politis, ia juga harus bersifat
ekonomik, harus didasarkan pada fungsi yang menentukan, yaitu inti aktivitas
ekonomi. (Faruk, 2003:68).
Melalui teori hegemoni menurut
Gramsci inilah terbukti bahwa, melakukan hegemoni pada suatu kelompok yaitu
warga Desa Sakai yang bersifat ekonomik dan etis-politis inilah pemimpin harus
membuat pengorbanan-pengorbanan tertentu. Dan pengorbanan yang dilakukan oleh
Kepala Desa Sakai adalah dengan mengorbankan warga Sakai, yang mengatasnamakan
rakyat Indonesia. Ketika kondisi sumber daya alam yang dimilikinya melimpah,
namun kemiskinan dan kesengsaraan harus dialami oleh mereka. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut,
Tetapi tak mengapa. Sebab
Caltex mampu menghasilkan milyaran barel minyak untuk kesejahteraan rakyat
Indonesia. Begitu yang sering dipidatokan Pak Kades atau Pak Camat saat
berkunjung ke perkampungan Sakai.
Apakah kami bukan rakyat
Indonesia? Pertanyaan ini sering sekali bermain-main di kepala Dolah dan
kawan-kawan kecilnya dulu. Dan saking bodohnya, sampai detik itu pun Dolah
belum mampu menjawab pertanyaan itu. Yang ia tahu dan rasakan, sampai kini dia
dan ratusan warga Sakai lainnya tetap saja seperti dulu: miskin dan serba
kekurangan.
Kepercayaan yang
dibangun oleh para pemimpin baik itu Pak Camat atau pun Pak Kades adalah salah
satu bentuk yang dibangun atas dasar hegemoni. Sesuai dengan teori hegemoni
mendefinisikan sifat kompleks dari hubungan antara masyarakat dengan
kelompok-kelompok pemimpin masyarakat: suatu hubungan yang tidak hanya politis
dalam pengertian yang sempit, tetapi juga persoalan mengenai gagasan-gagasan
atau kesadaran. Tekanan inilah yang menandakan orisinalitas konsep hegemoni.
Salah satu cara yang di dalamnya “pemimpin” dan “yang dipimpin” disatukan
adalah lewat “kepercayaan-kepercayaan popular” (Faruk, 2003:70).
Kepercayaan yang tetap diberikan
warga Desa Sakai kepada pemimpin mereka. Walaupun fakta yang terjadi berkata
lain. Sebenarnya para pemimpin mereka sedang melakukan sebuah kebohongan besar
yang nyata. Namun karena keterbelakangan dalam hal pendidikan dan pengetahuan
yang dimiliki oleh warga Desa Sakai mereka terpaksa harus menerima kenyataan
pahit di tanah mereka sendiri.
Dan diakhir cerita dalam
cerpen “Metropolitan Sakai” ketika Dolah telah kembali ke kampung halamannya,
selain perubahan tempat juga terjadi perubahan kondisi anak-anak di sana.
Kebudayaan kota yang telah masuk ke Desa Sakai dan telah menjadi satu
dengannya. Bahkan, mereka merupakan bagian dari korban hegemoni. Anak-anak desa
telah berubah menjadi pemalak kecil yang galak dan tidak mengenal sopan santun
lagi kepada orang yang lebih tua. Semuanya dinilai dengan materi atau uang.
Terdapat dalam kutipan berikut,
“Uangnya, Pak!” seorang anak tiba-tiba menyodorkan tangan meminta
sekaligus seperti memaksa.
Tak menyangka ditodong begitu, Dolah menoleh. Ditelitinya wajah-wajah
kecil yang berpakaian compang-camping di depannya. Semuanya menatap tajam pada
Dolah. Polos tetapi beringas.
“Hei, Bapak orang baru , kan?” desak yang lain.
“Harus bayar duduk di sini!”
Dolah terbelalak, “Bayar?”
Anak-anak mengangguk. Kini semua tangan menadah pada Dolah. Ada tujuh
anak. Semua saling berdesakan ingin dekat Dolah. “Hei, cepat berikan uangnya!”
teriakan anak paling ujung. Tubuhnya kecil, tetapi suaranya melengking
menghujam telinga dan hati Dolah. Matanya menatap Dolah seperti mengancam.
Semula Dolah menyangka anak-anak itu hanya bercanda. Tetapi melihat
wajah-wajah kecil itu makin tak bersahabat, Dolah gundah. Bukan takut, sungguh!
Sedikit pun dia tidak merasa takut. Masa dia takut sama anak ingusan. Dia hanya
bingung melihat wajah-wajah kecil yang begitu beringas padanya. Ada apa ini?
Apakah semua anak-anak Sakai sudah berubah galak? Kenapa? Apa yang telah
terjadi? Begitu dahsyatkah keganasan kota merusak karakter anak-anak ini?
Kondisi seperti inilah
yang terjadi akibat hegemoni yang telah ada di Desa Sakai. Selama dua puluh
tahun warga Desa Sakai tidak mampu untuk berbuat apa pun, dan tidak ada yang
melakukan perlawanan pada kondisi yang sedang mereka hadapi.
Pertemuan kembali Dolah
dengan Don Menet teman masa kecilnya semakin menggambarkan bahwa kehidupan Don
Menet sejak kelahirannya hingga dia kini telah menjadi seorang ayah dari salah
seorang anak yang ikut memalak Dolah adalah menjadi bukti bahwa kesengsaraan
itu masih saja dialaminya. Tidak pernah ana kesejahteraan seperti yang
diungkapkan pemimpin mereka. “Kesejahteraan untuk rakyat Indonesia”. Semuanya
adalah dusta. Dijelaskan dalam kutipan berikut ini,
Banyak kenangan yang tergali dari pertemuan singkat itu. Meski hanya
sepintas, Dolah dapat melihat gurat kesengsaraan di wajah sahabatnya itu.
Begitu jauh berbeda dengan wajah-wajah yang ada di dalam mobil mengkilat yang
berseliweran di belakang mereka.
Di akhir cerita,
pengolah minyak yang ada di Desa Sakai tersebut bukan semakin berhenti namun
semakin menjadi-jadi dan tidak berkesudahan. Hal ini bisa diartikan bahwa akan
semakin sengsaranya warga Desa Sakai akibat pengolahan minyak di tanah mereka
tetapi tidak pernah mereka rasakan hasilnya.
Petang turun ketika Dolah mengikuti Don Menet berjalan di atas pipa
minyak. Dipandangnya lurus, jauh ke depan. Tiba-tiba saja Dolah merasa
pipa-pipa minyak itu demikian panjang, tak berujung, tak berkesudahan.
KESIMPULAN
Cerpen berjudul
“Metropolitan Sakai” karya Abel Tasman merupakan salah satu cerpen yang sangat
identik dengan hegemoni yang mengatur atau mengorganisasikan manusia secara
nyata dan bersifat memaksa. Hegemoni atas ideologi kapitalisme yang merenggut
kebahagiaan manusia yang dikuasai hanya oleh beberapa orang. Atas dasar materi
melupakan kesengsaraan rakyat kecil yang hidup miskin dalam wilayah tersebut.
Kajian teori hegemoni
menurut Gramsci dapat memberikan gambaran yang lain bahwa sastra bukan hanya
sebagai tulisan belaka, namun sastra dapat menggambarkan kondisi nyata dalam
kehidupan yang sedang dialami masyarakat saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Satra: dari
Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset.
Busye, Motingo, dkk. Dua Tengkorak kepala: Cerpen Pilihan Kompas
2000. Jakarta: PT. Gramedia.
http://ancok.staff.ugm.ac.id/main/draft-i-kasus-pendayagunaan-sumber-daya-manusia-pindah-kerja-di-pt-caltex-pacific-indonesia/ diunduh
tanggal 8 Januari 2015.
kereen, :)
ReplyDelete:)
ReplyDelete:)
ReplyDelete