Wednesday 4 February 2015

Analisis Sosiologi Sastra

Dwi Puspaningrum
Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Yogyakarta
2013

Makalah yang ditulis untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sosiologi  Sastra.


ANALISIS HEGEMONI GRAMSCI DALAM “METROPOLITAN SAKAI” KARYA ABEL TASMAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Cerpen berjudul “Metropolitan Sakai” karya Abel Tasman yang dimuat dalam buku kumpulan cerpen pilihan Kompas 2000 dengan judul “Dua Tengkorak Kepala” merupakan salah satu cerpen yang dapat dianalisis dengan menggunakan teori hegemoni.
Menurut Gramsci hegemoni memperkenalkan kepemimpinan moral dan intelektual yang tidak terdapat dalam bentuk-bentuk analisis marxis yang lebih ortodoks dan mengindikasikan berbagai macam cara yang di dalamnya kepemimpinan itu sudah dibangun. (Faruk, 2003:63).
Dari teori tentang hegemoni tersebut, sejalan dengan cerita yang ada dalam cerpen “Metropolitan Sakai”. Di perkampungan Sakai yang menjadi salah satu korban dari adanya hegemoni atas ideologi kapitalisme. Warga desa yang hidup miskin di tengah sumber daya minyak yang melimpah, namun bukan untuk kesejahteraan desa tersebut. Pengambilan minyak yang dilakukan oleh perusahaan “Caltex” ini mendapat dukungan dari kepala Desa yang memimpin. Dolah, salah satu tokoh yang harus kehilangan Emak dan Abah-nya akibat kondisi sulit yang dialaminya. Begitu pula dengan sahabat Dolah, Don Menet yang terpaksa harus mengalami kesengsaraan.
Dan semakin hari pengolahan minyak di desa Sakai tidak pernah berhenti namun semakin diperluas. Namun, penduduk Desa Sakai baik Dolah, Don Menet maupun yang lainnya tidak bisa berbuat apa-apa.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan cerpen Metropolitan Sakai”  dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.    Bagaimana bentuk hegemoni yang terdapat dalam cerpen ’Metropolitan Sakai”?
2.    Siapakah yang menjalankan hegemoni di dalam cerpen “’Metropolitan Sakai”?
3.    Adakah upaya melawan kekuasaan yang mendominasi dalam cerpen “Metropolitan Sakai”?

C.   Tujuan
Analisis cerpen “Metropolitan Sakai” ini bertujuan untuk, pertama mengetahui bentuk hegemoni yang terdapat dalam cerpen “Metropolitan Sakai”. Kedua mengetahui siapa yang menjalankan hegemoni tersebut. Dan ketiga dapat mengetahui upaya apakah yang dilakukan untuk melawan kekuasaan yang mendominasi dalam cerpen “Metropolitan Sakai”.


BAB II
KAJIAN TEORI

Gramsci menganggap dunia gagasan, kebudayaan, suprastruktur, bukan hanya sebagai refleksi atau ekspresi dari struktur kelas ekonomik atau infrastuktur yang bersifat material, melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri. Sebagai kekuatan itu, dunia gagasan atau ideologi berfungsi mengorganisasi masa manusia, menciptakan suatu tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak (Faruk, 2003:62).
Hubungan antara yang ideal dengan yang material tidak berlangsung searah, melainkan bersifat saling tergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi, sedangkan ideologi-ideologi merupakan bentuknya. Kekuatan material tidak dapat dipahami secara historis tanpa bentuk dan ideologi-ideologi akan menjadi khayalan individual belaka tanpa kekuatan material (Faruk, 2003:62).
Hegemoni berarti sesuatu yang kompleks. Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis tertentu, yang lewatnya, dalam suatu masyarakat yang ada, suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa (Faruk, 2003:63).
Hegemoni memperkenalkan kepemimpinan moral dan intelektual yang tidak terdapat dalam bentuk-bentuk analisis marxis yang lebih ortodoks dan mengindikasikan berbagai macam cara yang di dalamnya kepemimpinan itu sudah dibangun (Faruk, 2003:63).
Hegemoni itu, oleh Gramsci, didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomik dan etis-politis. Dalam hal hegemoni itu harus diperhatikan interes-interes kelompok dan kecenderungan-kecenderungannya, yang terhadapnya hegemoni itu dijalankan. Di dalam hegemoni suatu keseimbangan kompromis antar interes-interes tersebut harus dibentuk atau, dengan kata lain, bahwa kelompok pemimpin harus membuat pengorbanan-pengorbanan tertentu. Akan tetapi, pengorbanan tersebut tidak dapat menyentuh esensial, yaitu interes ekonomi, sebab, walaupun hegemoni bersifat etis-politis, ia juga harus bersifat ekonomik, harus didasarkan pada fungsi yang menentukan, yaitu inti aktivitas ekonomi. (Faruk, 2003:68).
Di sini hegemoni mendefinisikan sifat kompleks dari hubungan antara sayarakat dengan kelompok-kelompok pemimpin masyarakat: suatu hubungan yang tidak hanya politis dalam pengertian yang sempit, tetapi juga persoalan mengenai gagasan-gagasan atau kesadaran. Tekanan inilah yang menandakan orisinalitas konsep hegemoni. Salah satu cara yang di dalamnya “pemimpin” dan “yang dipimpin” disatukan adalah lewat “kepercayaan-kepercayaan popular” (Faruk, 2003:70).


BAB III
PEMBAHASAN

Cerpen berjudul “Metropolitan Sakai” karya Abel Tasman merupakan salah satu cerpen yang sangat identik dengan hegemoni yang mengatur atau mengorganisasikan manusia secara nyata dan bersifat memaksa.
Hegemoni berarti sesuatu yang kompleks. Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis tertentu, yang lewatnya, dalam suatu masyarakat yang ada, suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa (Faruk, 2003:63).
Adanya suatu kekuasaan yang mengikat dan terpaksa harus tunduk pada perintah seorang pemimpin, dalam cerpen “Metropotitan Sakai” terlihat diawal cerita ketika warga Desa Sakai yang dipaksa untuk tidak boleh loyo oleh Kepala Desa karena akan ada Gubernur yang berkunjung ke desa tersebut. Akhirnya seluruh warga diberikan beras masing-masing 2 Kg.
Salah satu tokoh dalam cerita adalah Dolah, yang terpaksa harus kehilangan Abah-nya. Karena pemberian beras tersebut, Ayah-nya ingin makan nasi terus menerus yang sejak tiga hari belum makan nasi. Selanjutnya karena terlalu banyak makan nasi, Ayahnya meninggal. Dengan mulut yang berbusa dan mata yang terbeliak putih. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut ini,
Suatu hari rombongan Kepala Desa datang ke kampung Dolah. Kata Pak Kades akan ada kunjungan Gubernur ke kampung tersebut. “Di depan Gubernur ndak boleh ada yang kelihatan loyo. Semua harus makan banyak agar tampak sehat. Malu kan kalau badan kita kelihatan loyo di depan Pak Gubernur? Sebab daerah kita itu terkenal ke seluruh pelosok Indonesia sebagai negeri yang kaya-raya.” Begitu antara lain pidato Pak Kades sebelum membagi-bagi beras yang setiap kepala keluarga mendapat jatah dua kilogram.

Abah betul-betul lapar, Lah. Kau bertanak nasi lagi, ya, Nak? Nasi tadi dah abah habiskan, “ ucap abah.

Dengan senang hati Dolah kembali menanak nasi. Ketika itulah ia mendengar erangan dari bilik abah-nya. Betapa Dolah kecil terperanjat melihat abah-nya tergeletak dengan mulut berbusa dan mata terbeliak putih. Dolah berlari ke rumah Bomo, minta bantuan.

Kondisi di atas adalah gambaran yang sangat menyedihkan karena kekuasaan seorang pemimpin yaitu Kepala Desa dapat berbuat apa saja kepada yang dipimpin. Seperti halnya memerintahkan warganya untuk berpura-pura kelihatan sehat di depan Gubernur yang akan berkunjung. Yang sejatinya mereka hidup dalam kesusahan bahkan dapat dikatakan sengsara. Dan dari pemimpin itu sendiri tidak ada kesadaran atau upaya untuk menyejahterakan rakyatnya. Ini merupakan bukti bahwa hegemoni pemimpin mempunyai pengaruh yang kuat.
Setelah meninggalnya Abah Dolah tersebut, Dolah terpaksa harus tinggal di Panti Asuhan Anak Suku Terasing di kota. Namun Dia tidak tahan karena harus bekerja keras membantu pembangunan yayasan sepulang sekolah. Akhirnya Dolah nekat meninggalkan panti sebelum Dia sakit dan harus dipulangkan ke kampung.
Selanjutnya di dalam cerpen “Metropolitan Sakai” tidak dijelaskan kondisi Dolah setelah Dia berhasil minggat dari panti asuhan, tetapi sudah menceritakan kondisi Desa Sakai dua puluh tahun kemudian.
Perkampungan Sakai yang redup, semak, dan hening telah disulap menjadi metropolis yang serba gemerlap, benderang, dan bising. Lengkingan rusa yang diburu, pemancingan ikan, pekik-sorak pencari rotan, atau dendang anak-anak Sakai menjerat kancil, menggetah burung, terdengar mengiang dalam deru gemuruh kesibukan kota.
Dolah terus melangkah di atas pipa minyak di sepanjang sisi jalan. Tak ia pedulikan bising kendaraan yang berseliweran disebelah kanannya. Dulu, sekitar dua puluh tahun silam, Dolah paling suka pacu lari di atas pipa-pipa itu dengan Don Menet, teman kecilnya.

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa kondisi Desa Sakai telah banyak berubah. Perubahan ini tentu bukan terjadi secara kebetulan, melainkan ada  suatu sistem atau tatanan dan ideologi yang telah membangunnya. Penyebab terjadinya hal ini dijelaskan dalam paragraf berikutnya,
Semua itu terjadi memang akibat perubahan cara hidup yang drastis. Sejak nenek-moyang mereka, orang Sakai hanya terbiasa hidup dari berladang berpindah. Padahal itu dilarang pemerintah, karena dapat merusak kelestarian hutan. Makanya, sejak itu orang-orang Sakai mulai hidup dari hasil memburuh atau sebagian pekerja kasar lainnya. Sementara itu, hutan atau kebun mereka tempat biasa mereka berladang dijadikan perluasan areal pengolahan minyak oleh Caltex. Hutan-hutan dibabat rata dengan tanah, pohon-pohon yang ditanami warga Sakai ditebangi dan diganti rugi. Dalam pengertian, diganti rugi. Itu pun masih dikategorikan untung. Sebab sebagian tanah tempat orang-orang Sakai berladang dan berkebun malah harus diserahkan begitu saja tanpa ganti rugi sesen pun.

Berbicara tentang ideologi, dalam teori hegemoni juga disebutkan. Menurut Gramsci yang menganggap dunia gagasan, kebudayaan, suprastruktur, bukan hanya sebagai refleksi atau ekspresi dari struktur kelas ekonomik atau infrastuktur yang bersifat material, melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri. Sebagai kekuatan itu, dunia gagasan atau ideologi berfungsi mengorganisasi masa manusia, menciptakan suatu tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak (Faruk, 2003:62). Dan ideologi yang terdapat dalam cerpen “Metropolitan Sakai” juga telah mampu mengorganisasikan manusia.
Ideologi yang ada dalam cerpen “Metropolitan Sakai” adalah ideologi kapitalisme. Disebutkan dengan jelas perusahaan asing yang melakukan pengolahan minyak bumi, yaitu Caltex.
PT. Caltex Pacific Indonesia (PT. CPI) adalah perusahaan modal asing (PMA) yang melakukan kontrak kerja dengan Pemerintah Indonesia dalam bidang eksplorasi dan produksi minyak bumi di Indonesia. cikal bakal kegiatan PT CPI di Indonesia dimulai tahun 1934, di saat Standard Oil Company of California (yang kini bernama Chevron Corporation) memulai kegiatan eksplorasi minyak di Hindia Belanda. Untuk memperluas kegiatannya, pada tahun 1936 Standard Oil Company of California bergabung dengan perusahaan Texas Oil Company (Texaco), sebuah perusahaan minyak Amerika Serikat, membentuk perusahaan yang diberi nama Caltex.[1]
Di dalam kapitalisme, ada prinsip dasar kebebasan. Salah satunya adalah kebebasan. Termasuk kebebasan mengambil hasil kekayaan alam yang ada di Indonesia. Memberikan kesempatan asing untuk mengekploitasi sumber daya alam yang dimiliki tanpa memandang akan kerugian darinya. Tujuan utama dari kapitalisme adalah untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Karena ideologi kapitalisme tersebut tidak akan dapat berjalan jika tanpa adanya materi. Dan keduanya saling membentuk kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Seperti menurut Garmsci, hubungan antara yang ideal dengan yang material tidak berlangsung searah, melainkan bersifat saling tergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi, sedangkan ideologi-ideologi merupakan bentuknya. Kekuatan material tidak dapat dipahami secara historis tanpa bentuk dan ideologi-ideologi akan menjadi khayalan individual belaka tanpa kekuatan material (Faruk, 2003:62).
Adapun yang telah dialami oleh Desa Sakai akibat pengolahan minyak asing ini, mereka hidup jauh dari kelayakan. Jika kita kaitkan dengan teori hegemoni menurut Gramsci, didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomik dan etis-politis. Dalam hal hegemoni itu harus diperhatikan interes-interes kelompok dan kecenderungan-kecenderungannya, yang terhadapnya hegemoni itu dijalankan. Di dalam hegemoni suatu keseimbangan kompromis antar interes-interes tersebut harus dibentuk atau, dengan kata lain, bahwa kelompok pemimpin harus membuat pengorbanan-pengorbanan tertentu. Akan tetapi, pengorbanan tersebut tidak dapat menyentuh esensial, yaitu interes ekonomi, sebab, walaupun hegemoni bersifat etis-politis, ia juga harus bersifat ekonomik, harus didasarkan pada fungsi yang menentukan, yaitu inti aktivitas ekonomi. (Faruk, 2003:68).
Melalui teori hegemoni menurut Gramsci inilah terbukti bahwa, melakukan hegemoni pada suatu kelompok yaitu warga Desa Sakai yang bersifat ekonomik dan etis-politis inilah pemimpin harus membuat pengorbanan-pengorbanan tertentu. Dan pengorbanan yang dilakukan oleh Kepala Desa Sakai adalah dengan mengorbankan warga Sakai, yang mengatasnamakan rakyat Indonesia. Ketika kondisi sumber daya alam yang dimilikinya melimpah, namun kemiskinan dan kesengsaraan harus dialami oleh mereka. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut,
Tetapi tak mengapa. Sebab Caltex mampu menghasilkan milyaran barel minyak untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Begitu yang sering dipidatokan Pak Kades atau Pak Camat saat berkunjung ke perkampungan Sakai.
Apakah kami bukan rakyat Indonesia? Pertanyaan ini sering sekali bermain-main di kepala Dolah dan kawan-kawan kecilnya dulu. Dan saking bodohnya, sampai detik itu pun Dolah belum mampu menjawab pertanyaan itu. Yang ia tahu dan rasakan, sampai kini dia dan ratusan warga Sakai lainnya tetap saja seperti dulu: miskin dan serba kekurangan.

Kepercayaan yang dibangun oleh para pemimpin baik itu Pak Camat atau pun Pak Kades adalah salah satu bentuk yang dibangun atas dasar hegemoni. Sesuai dengan teori hegemoni mendefinisikan sifat kompleks dari hubungan antara masyarakat dengan kelompok-kelompok pemimpin masyarakat: suatu hubungan yang tidak hanya politis dalam pengertian yang sempit, tetapi juga persoalan mengenai gagasan-gagasan atau kesadaran. Tekanan inilah yang menandakan orisinalitas konsep hegemoni. Salah satu cara yang di dalamnya “pemimpin” dan “yang dipimpin” disatukan adalah lewat “kepercayaan-kepercayaan popular” (Faruk, 2003:70).
Kepercayaan yang tetap diberikan warga Desa Sakai kepada pemimpin mereka. Walaupun fakta yang terjadi berkata lain. Sebenarnya para pemimpin mereka sedang melakukan sebuah kebohongan besar yang nyata. Namun karena keterbelakangan dalam hal pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh warga Desa Sakai mereka terpaksa harus menerima kenyataan pahit di tanah mereka sendiri.
Dan diakhir cerita dalam cerpen “Metropolitan Sakai” ketika Dolah telah kembali ke kampung halamannya, selain perubahan tempat juga terjadi perubahan kondisi anak-anak di sana. Kebudayaan kota yang telah masuk ke Desa Sakai dan telah menjadi satu dengannya. Bahkan, mereka merupakan bagian dari korban hegemoni. Anak-anak desa telah berubah menjadi pemalak kecil yang galak dan tidak mengenal sopan santun lagi kepada orang yang lebih tua. Semuanya dinilai dengan materi atau uang. Terdapat dalam kutipan berikut,
“Uangnya, Pak!” seorang anak tiba-tiba menyodorkan tangan meminta sekaligus seperti memaksa.
Tak menyangka ditodong begitu, Dolah menoleh. Ditelitinya wajah-wajah kecil yang berpakaian compang-camping di depannya. Semuanya menatap tajam pada Dolah. Polos tetapi beringas.
“Hei, Bapak orang baru , kan?” desak yang lain.
“Harus bayar duduk di sini!” 
Dolah terbelalak, “Bayar?”
Anak-anak mengangguk. Kini semua tangan menadah pada Dolah. Ada tujuh anak. Semua saling berdesakan ingin dekat Dolah. “Hei, cepat berikan uangnya!” teriakan anak paling ujung. Tubuhnya kecil, tetapi suaranya melengking menghujam telinga dan hati Dolah. Matanya menatap Dolah seperti mengancam.
Semula Dolah menyangka anak-anak itu hanya bercanda. Tetapi melihat wajah-wajah kecil itu makin tak bersahabat, Dolah gundah. Bukan takut, sungguh! Sedikit pun dia tidak merasa takut. Masa dia takut sama anak ingusan. Dia hanya bingung melihat wajah-wajah kecil yang begitu beringas padanya. Ada apa ini? Apakah semua anak-anak Sakai sudah berubah galak? Kenapa? Apa yang telah terjadi? Begitu dahsyatkah keganasan kota merusak karakter anak-anak ini?

Kondisi seperti inilah yang terjadi akibat hegemoni yang telah ada di Desa Sakai. Selama dua puluh tahun warga Desa Sakai tidak mampu untuk berbuat apa pun, dan tidak ada yang melakukan perlawanan pada kondisi yang sedang mereka hadapi.
Pertemuan kembali Dolah dengan Don Menet teman masa kecilnya semakin menggambarkan bahwa kehidupan Don Menet sejak kelahirannya hingga dia kini telah menjadi seorang ayah dari salah seorang anak yang ikut memalak Dolah adalah menjadi bukti bahwa kesengsaraan itu masih saja dialaminya. Tidak pernah ana kesejahteraan seperti yang diungkapkan pemimpin mereka. “Kesejahteraan untuk rakyat Indonesia”. Semuanya adalah dusta. Dijelaskan dalam kutipan berikut ini,
Banyak kenangan yang tergali dari pertemuan singkat itu. Meski hanya sepintas, Dolah dapat melihat gurat kesengsaraan di wajah sahabatnya itu. Begitu jauh berbeda dengan wajah-wajah yang ada di dalam mobil mengkilat yang berseliweran di belakang mereka.

Di akhir cerita, pengolah minyak yang ada di Desa Sakai tersebut bukan semakin berhenti namun semakin menjadi-jadi dan tidak berkesudahan. Hal ini bisa diartikan bahwa akan semakin sengsaranya warga Desa Sakai akibat pengolahan minyak di tanah mereka tetapi tidak pernah mereka rasakan hasilnya.
Petang turun ketika Dolah mengikuti Don Menet berjalan di atas pipa minyak. Dipandangnya lurus, jauh ke depan. Tiba-tiba saja Dolah merasa pipa-pipa minyak itu demikian panjang, tak berujung, tak berkesudahan.



KESIMPULAN

Cerpen berjudul “Metropolitan Sakai” karya Abel Tasman merupakan salah satu cerpen yang sangat identik dengan hegemoni yang mengatur atau mengorganisasikan manusia secara nyata dan bersifat memaksa. Hegemoni atas ideologi kapitalisme yang merenggut kebahagiaan manusia yang dikuasai hanya oleh beberapa orang. Atas dasar materi melupakan kesengsaraan rakyat kecil yang hidup miskin dalam wilayah tersebut.
Kajian teori hegemoni menurut Gramsci dapat memberikan gambaran yang lain bahwa sastra bukan hanya sebagai tulisan belaka, namun sastra dapat menggambarkan kondisi nyata dalam kehidupan yang sedang dialami masyarakat saat ini.


  
DAFTAR PUSTAKA

Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Satra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Busye, Motingo, dkk. Dua Tengkorak kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000. Jakarta: PT. Gramedia.
                                                      


3 comments: